Dok. : Sulton |
Tidak lama lagi, yakni pada 17 April 2019, Pemilu legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan digelar secara serentak. Ada 16 partai politik yang akan bertanding di Pileg 2019. Sementara di Pilpres, hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi, yaitu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.
Sebagian kalangan menilai bahwa Pemilu 2019 sudah lah demokratis dikarenakan semua orang yang berusia diatas 17 tahun memiliki hak yang sama untuk memilih. Namun demokrasi tidak saja diukur dari kesamaan hak untuk memilih, tetapi juga kesamaan hak untuk dipilih. Dalam hal kebebasan untuk dipilih, Pemilu 2019 mengulang bahkan memperparah Pemilu sebelumnya. Aturan-aturan yang ada justru memperberat kontestan Pemilu, baik partai politik maupun calon presiden untuk tampil. Keberadaan logistik pendanaan menjadi syarat tersirat yang hanya mampu dipenuhi oleh partai-partai bermodal besar. Dalam hal ini adalah oligarki partai-partai besar.
Dok. : Sulton |
Regulasi berlanjut dalam pemilihan Presiden yang hanya menyediakan dua calon yang menurut kami sama-sama tidak kompeten memimpin negara. Mari kita lihat Jokowi, sang petahana, yang pernah diharapkan cukup banyak orang pada Pemilu 2014 lalu namun tidak terbukti pro rakyat setelah berkuasa. Kasus-kasus pelanggaran HAM tetap terbengkalai, bahkan terus terjadi.
Dok. : Sulton |
Upaya untuk menghadirkan alternatif bukan tidak pernah dilakukan gerakan rakyat. Hampir di setiap periode Pemilu pasca-reformasi, upaya menghadirkan alternatif itu dilakukan. Mulai dari Partai Persatuan Oposisi Rakyat (Popor) di tahun 2004, Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) dan Partai Perserikatan Rakyat (PPR) di tahun 2009 hingga rencana Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Rumah Rakyat Indonesia (RRI) dan Partai Hijau Indonesia (PHI) untuk menjadi kontestan Pemilu 2019. Namun semuanya terhambat regulasi Pemilu.
Dok. : Sulton |
Berbagai cara untuk membendung Golput pun dilakukan. Mulai dari melontarkan wacana yang persuasif, bullying sampai dengan intimidasi untuk mengkriminalisasi Golput. Muncul wacana bahwa mengajak Golput bisa dipidana. Landasan yang biasa dipakai adalah pasal 515 UU No. 7 tahun 2017 Tentang Pemilu.
Wacana ini tentu tidak benar. Yang bisa dipidana menurut pasal 515 adalah: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.” Penekanan pasal itu adalah pada caranya, bukan pada ajakan tidak memilihnya. Artinya, pasal ini bukanlah pasal tentang Golput, tapi pasal tentang politik uang (money politics). Golput adalah hak, sama seperti seseorang boleh mengkampanyekan Jokowi atau Prabowo.
Dalam situasi tidak ada partai dan calon yang bisa diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat, sikap Golput adalah rasional, sehingga juga merupakan pilihan politik. Tetapi, dengan hanya bersikap Golput tanpa tindak lanjut apa-apa, juga tidak akan mengubah apa-apa. Sikap Golput perlu dan harus dilakukan dengan memberikan kesadaran politik bagi rakyat yang dilanjutkan dengan tindakan membangun partai alternatif. Hanya dengan keberadaan partaipartai dan calon-calon yang tumbuh dari pergerakan rakyat lah Golput akan menjadi irasional. Bukan dengan intimidasi dan ancaman.
Dok. : Sulton |
Berdasarkan paparan diatas, kamidari Komite Golput hendak menyampaikan:
- Mengecam intimidasi dan upaya kriminalisasi kaum Golput. Memilih adalah hak, bukan kewajiban. Oleh karenanya, Golput adalah juga pilihan politik.
- Pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi atas aturan-aturan tentang Partai Politik dan Pemilu yang memungkinkan seluruh elemen rakyat dapat memiliki hak untuk menjadi kontestan Pemilu.
- Kepada seluruh rakyat yang aspirasinya tidak diwakili dan yang tidak percaya dengan seluruh calon peserta Pemilu, agar bersikap Golput! Bergabunglah dengan wadah-wadah Komite Golput untuk kemudian bersama-sama membangun partai alternatif yang sesuai dengan aspirasi pergerakan rakyat.
Humas Aksi:
- Herman A Rohman : 0822-1342-6109
- Yahya : 0813-1672-4952
Tidak ada komentar:
Posting Komentar