Raning Media3

Media buruh untuk rakyat

Rabu, Januari 16, 2019

Kumpulan putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU13/2003 tentang Ketenagakerjaan


Tak ada gading yang tak retak dan tak ada yang sempurna di dunia, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan YME. Mungkin ungkapan itulah yang dirasa cukup tepat untuk mengawali pembahasan kita kali ini. Setelah lebih dari 15 (lima belas) tahun diundangkan, ternyata telah banyak yang terjadi dengan keberadaan undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Beberapa daftar putusan telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan isian undang-undang tersebut. Berikut ini 11 (sebelas) daftar putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.


No. Putusan 
Pasal 
Hasil



1. 12/PUUI/2003

Seluruh Pasal dalam UU Ketenagakerjaan

Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berbunyi, “Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 93 ayat (2), dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).” Ketentuan pidana ini tidak lagi dikenakan pada pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja atau pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang mengajak melakukan mogok kerja.


Pasal 158 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena memberi kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.


Pasal 159 dihapus karena ketentuan tersebut melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan kesalahannya. Selain itu, pemberlakuan pasal tersebut menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.


Pasal 160 ayat (1) sepandang mengenai anak kalimat “bukan atas pengaduan pengusaha” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berbunyi, “Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut…” Artinya, apabila pekerja/buruh ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, meskipun itu atas pengaduan pengusaha atau bukan, maka pengusaha wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya.


Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali Pasal 158 ayat (1), …” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 168, kecuali Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169, batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.” Artinya, ketentuan ini juga berlaku terhadap pekerja/buruh yang di-PHK karena telah melakukan kesalahan berat.


Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “… Pasal 158 ayat (1) …” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berbunyi, “Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan Psal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.” Artinya, ketentuan ini juga berlaku terhadap pekerja/buruh yang di-PHK karena telah melakukan kesalahan berat.



2. 115/PUUVII/2009

Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121

Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. Frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) terpenuhi, maka…” dalam Pasal 120 ayat (3) dihapus, sehingga berbunyi, “Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.” Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut harus dimaknai “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.”


Pasal 121 tidak bertentangan dengan UUD 1945.



3. 19/PUUIX/2011

Pasal 164 ayat (3)

Frasa “perusahaan tutup” harus dimaknai bahwa perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Artinya, PHK terhadap pekerja/buruh bisa dilakukan oleh pengusaha apabila perusahaannya tutup secara permanen atau perusahaannya tutup tidak untuk sementara waktu sehingga peristiwa perusahaan melakukan PHK kepada pekerja/buruh dengan alasan efisiensi sehingga merugikan hak pekerja/buruh, tidak terjadi lagi.



4. 27/PUUIX/2011

Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b

Frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi bekerja yang obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing. Dalam putusan ini Mahkamah menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, penerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Dengan menerapkan prinsip ini, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.



5. 37/PUUIX/2011

Pasal 155 ayat (2)

Frasa “belum ditetapkan” harus dimaknai sampai berkekuatan hukum tetap, sehingga untuk kasus perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sampai keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada yang tidak dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang tidak dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu perselisihan hak dan PHK yang dimohonkan kasasi.



6. 58/PUUIX/2011

Pasal 169 ayat (1) huruf c

Pasal 169 ayat (1) huruf c harus dimaknai pekerja/buruh tetap dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.



7. 100/PUUX/2012

Pasal 96
Menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja.


*Catatan, Hakim Konstitutsi Hamdan Zoelva memiliki pandangan berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan ini.



8. 67/PUUXI/2013

Pasal 95 ayat (4)
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai; “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemeirntah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”.



9. 7/PUUXII/2014

Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4)

Frasa “demi hukum” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pekerja dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: (a) telah melaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding, (b) telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundangundangan. Artinya, pekerja kontrak bisa menempuh upaya hukum ke pengadilan untuk memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja tetap dengan meminta pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri dengan catatan telah melaksanakan perundingan bipartit dan gagal atau salah satu menolak, serta telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan.



10. 72/PUUXII/2015

Pasal 90 ayat (2) 
Frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” pada penjelasan Pasal 90 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, apabila masa penangguhan pelaksanaan upah minimum telah berakhir, maka selain perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, perusahaan juga wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.



11. 13/PUUXV/2017

Pasal 153 ayat (1) huruf f

Membatalkan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB)” sehingga Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.” Artinya, sesama pekerja boleh menikah dalam satu perusahaan tanpa PHK termasuk memiliki hubungan darah, atau ke depan tidak boleh ada lagi perusahaan, dengan dalih diatur dalam PK, PP, PKB, mem-PHK pekerjanya karena alasan menikah atau memiliki hubungan darah dalam satu perusahaan.

# Bagi yang menemukan kekeliruan atau mengetahui putusan lainnya yang berkaitan dengan UU 13 th 2003, silahkan menambahkan di kolom komentar.

Tinggalkan Komentar :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar