Tak ada gading yang tak retak dan tak ada yang sempurna di dunia, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan YME. Mungkin ungkapan itulah yang dirasa cukup tepat untuk mengawali pembahasan kita kali ini. Setelah lebih dari 15 (lima belas) tahun diundangkan, ternyata telah banyak yang terjadi dengan keberadaan undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Beberapa daftar putusan telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan isian undang-undang tersebut. Berikut ini 11 (sebelas) daftar putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
No. Putusan
Pasal
Hasil
1. 12/PUUI/2003
Seluruh Pasal dalam UU Ketenagakerjaan
Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal
137 dan Pasal 138 ayat (1)…” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
berbunyi, “Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 93 ayat (2), dikenakan sanksi pidana paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).” Ketentuan pidana ini tidak lagi dikenakan
pada pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja atau pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh yang mengajak melakukan mogok kerja.
Pasal 158 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena memberi kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan
buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui
putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan
keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji
keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.
Pasal 159 dihapus karena ketentuan tersebut
melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk
membuktikan kesalahannya. Selain itu, pemberlakuan pasal tersebut menimbulkan
kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses
perkara perdata secara tidak pada tempatnya.
Pasal 160 ayat (1) sepandang mengenai anak kalimat
“bukan atas pengaduan pengusaha” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga berbunyi, “Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena
diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi
wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut…” Artinya, apabila pekerja/buruh
ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, meskipun itu
atas pengaduan pengusaha atau bukan, maka pengusaha wajib memberikan bantuan
kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya.
Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali
Pasal 158 ayat (1), …” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan
Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 168, kecuali Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan
Pasal 169, batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh
yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya
diterima.” Artinya, ketentuan ini juga berlaku terhadap pekerja/buruh yang
di-PHK karena telah melakukan kesalahan berat.
Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “… Pasal
158 ayat (1) …” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga berbunyi,
“Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan Psal 162, dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.” Artinya, ketentuan ini juga berlaku
terhadap pekerja/buruh yang di-PHK karena telah melakukan kesalahan berat.
2. 115/PUUVII/2009
Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121
Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) dihapus
karena bertentangan dengan UUD 1945. Frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau ayat (2) terpenuhi, maka…” dalam Pasal 120 ayat (3) dihapus,
sehingga berbunyi, “Para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding
yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.” Menurut Mahkamah, ketentuan
tersebut harus dimaknai “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu
serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan
serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.”
Pasal 121 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3. 19/PUUIX/2011
Pasal 164 ayat (3)
Frasa “perusahaan tutup” harus dimaknai bahwa
perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.
Artinya, PHK terhadap pekerja/buruh bisa dilakukan oleh pengusaha apabila
perusahaannya tutup secara permanen atau perusahaannya tutup tidak untuk
sementara waktu sehingga peristiwa perusahaan melakukan PHK kepada
pekerja/buruh dengan alasan efisiensi sehingga merugikan hak pekerja/buruh,
tidak terjadi lagi.
4. 27/PUUIX/2011
Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b
Frasa “perjanjian kerja waktu tertentu” bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi bekerja yang obyek kerjanya tetap
ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing. Dalam putusan ini
Mahkamah menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh
outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk
PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua,
penerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh yang
bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Dengan
menerapkan prinsip ini, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan
pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan
outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan
outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk
dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut
harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah
ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang
berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi
pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.
5. 37/PUUIX/2011
Pasal 155 ayat (2)
Frasa “belum ditetapkan” harus dimaknai sampai
berkekuatan hukum tetap, sehingga untuk kasus perselisihan hak dan PHK yang
dimohonkan kasasi, pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya sampai keluar putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap pada tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, dan ada
yang tidak dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang tidak
dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu perselisihan hak dan PHK
yang dimohonkan kasasi.
6. 58/PUUIX/2011
Pasal 169 ayat (1) huruf c
Pasal 169 ayat (1) huruf c harus dimaknai
pekerja/buruh tetap dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak
membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu
sesudah itu.
7. 100/PUUX/2012
Pasal 96
Menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan
hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh tidak melakukan perbuatan yang
merugikan pemberi kerja.
*Catatan, Hakim Konstitutsi Hamdan Zoelva memiliki
pandangan berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan ini.
8. 67/PUUXI/2013
Pasal 95 ayat (4)
Mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk sebagian; Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai; “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang
didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis,
tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah,
sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua
tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk
pemeirntah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”.
9. 7/PUUXII/2014
Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat
(4)
Frasa “demi hukum” bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai pekerja dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan ke
Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: (a) telah melaksanakan perundingan
bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau
salah satu pihak menolak untuk berunding, (b) telah dilakukan pemeriksaan oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Artinya, pekerja kontrak bisa menempuh upaya hukum ke pengadilan untuk
memperoleh penetapan status PKWTT atau sebagai pekerja tetap dengan meminta
pengesahan nota pemeriksaan ke Pengadilan Negeri dengan catatan telah
melaksanakan perundingan bipartit dan gagal atau salah satu menolak, serta
telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan.
10. 72/PUUXII/2015
Pasal 90 ayat (2)
Frasa “tetapi tidak wajib membayar
pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”
pada penjelasan Pasal 90 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. Artinya,
apabila masa penangguhan pelaksanaan upah minimum telah berakhir, maka selain
perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu,
perusahaan juga wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku
pada waktu diberikan penangguhan.
11. 13/PUUXV/2017
Pasal 153 ayat (1) huruf f
Membatalkan frasa “kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama
(PKB)” sehingga Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi “Pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh mempunyai
pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di
dalam satu perusahaan.” Artinya, sesama pekerja boleh menikah dalam satu
perusahaan tanpa PHK termasuk memiliki hubungan darah, atau ke depan tidak
boleh ada lagi perusahaan, dengan dalih diatur dalam PK, PP, PKB, mem-PHK
pekerjanya karena alasan menikah atau memiliki hubungan darah dalam satu
perusahaan.
# Bagi yang menemukan kekeliruan atau mengetahui putusan lainnya yang berkaitan dengan UU 13 th 2003, silahkan menambahkan di kolom komentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar