Raning Media3

Media buruh untuk rakyat

Minggu, April 28, 2019

Bagian Ketiga - Bentuk Alat Persatuan apakah yang memiliki Kapasitas terhadap tindakan Objektif?


Diawal perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dimulai pada tahun 1910an, kita melihat adanya persatuan antara kelas buruh dan kelas kapitalis yang kedua-duanya masih-lah sangat muda. Imperialisme, yang merupakan tahapan terakhir dan tertinggi dari kapitalisme, juga baru muncul pada awal abad ke-20. Ia segera menampakkan kontradiksi-kontradiksinya, yang memuncak pada Perang Dunia I. Perang ini tidak lain adalah perang antara kekuatan-kekuatan imperialis utama untuk membagi-bagi dunia. Secara paradoks, justru kontradiksi imperialisme ini, yakni kontradiksi negara-bangsa (nation-state), yang lalu memunculkan kesadaran negara-bangsa di antara rakyat yang terjajah, dimulai dari lapisan intelektualnya. Ini memercikkan perjuangan pembebasan nasional di Indonesia dan juga koloni-koloni lainnya. Beserta rakyat luas kaum kapitalis Indonesia menuntut kemerdekaan nasional mereka dan terlibat dalam perjuangan melawan Belanda dan imperialisme secara umum. Namun sejak awal mereka telah menunjukkan keragu-raguan, kepengecutan, dan kebimbangan mereka. Ini karena mereka lahir di era imperialisme, sehingga mereka punya dua karakter:
          1) ketergantungan pada modal asing; 
          2) ketakutan pada rakyat pekerja.
Faktanya mereka lebih takut pada rakyat pekerja daripada tuan imperialis mereka, dan ketakutan ini semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin besarnya kelas proletar di Indonesia dan semakin kuatnya mereka sebagai kelas untuk dirinya sendiri.

Pukulan serius pertama terhadap imperialisme Belanda dihantarkan bukan oleh borjuasi nasionalis kita tetapi oleh kelas buruh lewat partainya, Partai Komunis Indonesia. Di antara kelompok-kelompok politik lainnya di Indonesia pada periode awal perjuangan kemerdekaan PKI adalah organisasi politik dengan jumlah anggota, simpatisan, basis massa, dan pengaruh terbesar.

Tan Malaka, dalam karyanya “Aksi Massa”, mengkritik dengan keras partai-partai borjuis di Indonesia. Budi Utomo digambarkannya sebagai “partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia ... ia tidak mendapat cara-cara aksi borjuis radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat dari dulu sampai sekarang.” Sementara kepada National Indische Party (NIP), yang nantinya jadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI), Tan Malaka menulis ini: “Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga NIP ... “mencium” kebangsaan Indonesia. ... [ia] berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. ... Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota NIP.”

Mengapa borjuasi Indonesia begitu “malas”, “tidak berani”, “pincang”, dan “ragu-ragu” dalam menjalankan tugas-tugas nasional demokratik mereka? Tan Malaka menjelaskan: “Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuasi Indonesia ‘beriring-iring patah di tengah’. ... Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup.” Yah, benar. Karena borjuasi Indonesia  ada di bawah jempol kapital asing yang lebih besar dan tergantung padanya, maka dari itu mereka lemah dan beriring-iring patah di tengah dalam usaha mereka untuk memenuhi tugas-tugas nasional dan demokratis.

Bagaimana kelas borjuasi kita hari ini dibandingkan dengan jaman Tan Malaka? Apakah dalam 100 tahun terakhir ini mereka telah menjadi “berani” dan “tegas”?

Sebaliknya. Mereka justru menjadi semakin penakut, dan dengan kepengecutan mereka datang juga karakter pengkhianatan mereka. Pada 1945, pemimpin mereka, Soekarno dan Hatta, harus dipaksa oleh kaum muda revolusioner untuk memproklamirkan kemerdekaan. Lalu pada 1945-49, para pemimpin borjuis mengkhianati perjuangan kemerdekaan 100% karena takut pada imperialisme. Mereka persembahkan kepala dari ribuan kader komunis dan para pemimpin mereka kepada Belanda dan imperialisme. Mengenai ini, Soekarno membela tindakannya yang meremukkan elemen-elemen revolusioner pada masa 1945-1949 dengan mengatakan bahwa “revolusi nasional tidak boleh dibikin lemah dengan perjuangan kelas” dahulukan persatuan nasional, tanggalkan perjuangan kelas. Lalu kemudian pada 1965, borjuasi kita berbaris rapi di belakang militer dalam menenggelamkan gerakan buruh ke dalam kubangan darah. PKI pada saat itu membuat kesalahan yang sangat prinsipil yakni percaya kepada borjuasi nasional yang menurut mereka progresif. Tidak peduli pada mimpi para pemimpin PKI pada awal kelahirannya 50 tahun yang lalu, kaum borjuasi kita telah mengambil pilihan mereka yakni: ”lebih baik hidup sebagai kacung imperialis daripada hidup bersama dengan kaum buruh dan tani yang mandiri, terorganisir, dan kuat”.

Inilah mengapa mereka (kaum borjuasi) puas saja hidup di bawah Soeharto, dan tidak pernah sekalipun menggedor – apalagi mendobrak – pintu kediktatoran Soeharto. Pada 1998, setelah pintu tersebut didobrak oleh kaum muda dan rakyat tertindas luas, kaum borjuasi yang pada saat itu berperan sebagai oposisi ( – Gus Dur, Mega, Amen –) justru memainkan peran untuk meredam semangat revolusioner rakyat. Para pahlawan reformasi inilah, yakni perwakilan dari borjuasi kita yang paling progresif, yang telah membawa Indonesia semakin terjerembab di bawah kesesatan dan kebiadaban modal asing. Lengkap dengan peran pemerintahan Gus Dur dan Mega sebagai penghamba modal (komprador) dalam mencanangkan program-program liberalisasi dan privatisasi.Dengan fakta objektif tersebut menjadi tepat bahwa sudah semestinya kaum gerakan rakyat dalam menggunakan analisa berpikir dan tindakannya menolak 100 % untuk memahami dan bersepakat terhadap kemustahilan dalam melakukan upaya persatuan nasional dengan memposisikan para kapitalis dan perwakilan politik mereka sebagai sekutu bagi perlawanan gerakan rakyat Indonesia.

Lalu berikutnya bagaimana kaum gerakan rakyat saat ini menegaskan posisi keberpihakannya menuju alam kemerdekaan 100% baik dalam bentuk kajian situasiasi gerak modal kekinian maupun dalam bentuk diskursus-diskursus ilmiah yang terencana dan berkelanjutan secara luas.Bahwa kilasan situasi gerak modal yang berkembang saat ini sangatlah jauh berbeda sama sekali dibandingkan dengan situasi awal lahir dan perkembangannya yang prematur pada saat silam,gerak modal di abad millenial saat ini telah sampai dipenghujung kemusnahannya asbab stagnannya siklus perputaran modal yang tidak dapat lagi diterapkan dengan sebebas-bebasnya tanpa sebuah kendali proteksi negara dalam penerapannya (kontradiktif dengan jalan keluar neo-liberalisme dari krisis besar di fase keneysian)  dan bertumpuknya komoditi maupun modal itu sendiri pada satu penguasaan perdagangannya disebabkan ketidakmampuan daya beli secara global bahkan dinegara pemodal yang paling maju sekalipun,sehingga sampai detik inipun para kaum modal sama sekali belum menetapkan jalan keluar seperti apa terkait krisis global yang terjadi di abad ini kecuali mereka hanya semakin dekat dengan keniscayaan kebangkrutannya.Hal ini merupakan wujud nyata terhadap kegagalan sistem penindasan modal didalam mensejahterakan serta menciptakan perdamaian bagi setiap umat manusia diseluruh dunia.(#kilasan analisa situasi ini baru sebatas uraian umum yang masih harus didiskusikan secara detail)

Bahwa secara objektif-ilmiah kelas penguasa yang menindas dan kelas rakyat tertindas yang dikuasai sudah semakin terang benderang bentuk konkrit dari penindasan maupun penderitaannya, meskipun upaya pembiasan akan situasi sesungguhnya selalu dibalut dalam selimut persamaan hak antara sesama umat manusia dalam sematan legitimasi secara internasional yang mengatasnamakan nilai-nilai kemanusiaan palsu yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagainya,seruan bagi si pemilik modal untuk berperan aktif mencegah peristiwa kemiskinan dan kelaparan diseluruh bagian penjuru dunia yang sejatinya disebabkan oleh ketamakan, keserakahan serta perampasan hak hidup yang mereka lakukan dengan sendirinya merupakan upaya pertolongan pertama terhadap semakin akutnya krisis modal yang terjadi,tidak lain tujuannya adalah untuk mengubur kembali sejak dini situasi revolusioner yang telah muncul seperti pada saat kebangkrutan mereka sebelumnya, hingga tiba masanya kekuatan revolusioner tersebut akan kembali mereka luluh lantahkan dengan menggunakan seluruh alat kekuasaan yang memaksa.Akankah peristiwa sejarah tersebut dibiarkan terjadi kembali ? jawabannya tentu terletak pada sejauh mana setiap elemen gerakan rakyat mampu menjadikan bahan-bahan evaluasi atas hal tersebut sebagai sebuah material pokok yang akan digunakan dalam menentukan tindakan organisasi gerakan rakyat secara dialektis.

Kaum liberal demokrat dan borjuis kecil di Indonesia memimpikan sebuah negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh politik sipil, dengan harapan bahwa negara sipil seperti ini akan menjadi demokrasi modern yang menghormati keabsahan hukum dan HAM. Demokrasi paling modern di muka bumi ini seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman, di mana pemerintahannya adalah pemerintahan sipil, justru adalah pelanggar HAM terbesar. Pejabat-pejabat sipil inilah yang mengirim tentara ke Irak, Afghanistan, Mali, Libia, dan berbagai daerah konflik lainnya. Para politisi sipil inilah yang mengesahkan dan mendukung secara aktif kudeta-kudeta militer terhadap pemerintahan-pemerintahan terpilih di Amerika Latin, Afrika, Asia, dll. yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Dari seluruh uraian diatas jelaslah bagi kita sekalian didalam meletakkan dan menggunakan potensi organisasi yang akan kita lahirkan bersama saat ini sehingga sesuai berdasarkan kebutuhannya dengan kapasitas dan ketepatan situasi objektif maupun subjektinya dalam memufakatkan program strategi-taktik organisasi (red-parlementariat atau soviet),kemudian untuk selanjutnya sekalian kita dapat berperan serta aktif didalam menentukan capaian target perjuangan organisasi disituasi kedepannya,tentu semakin besar tantangan perjuangannya maka beriringan dengan kebutuhan alat perjuangannya.(dari perjuangan normatif menuju kepada perjuangan politik massa rakyat tertindas).

Selamat berdiskusi

(ASK)
     
Tinggalkan Komentar :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar