Raning Media3

Media buruh untuk rakyat

Minggu, April 28, 2019

Bagian Kedua - Apakah sesungguhnya makna Pemilu bagi gerakan rakyat? dan bagaimana mengejawantahkannya dalam setiap gerak organisasi rakyat?


Untuk kesekian kalinya pemilu kembali menebarkan kebimbangan di antara kaum gerakan rakyat saat ini,ada yang mendukung keterlibatan di dalamnya dengan membonceng partai-partai yang ada dengan berbagai alasan, di sisi lain ada pula yang mendukung kelompok borjuasi yang tampak popular dengan berbagai kualifikasi dan kondisi, juga ada yang mendukung kelompok borjuasi bertopeng nasionalis sebagai sosok anti-imperialis, serta ada yang menolak partisipasi di dalam pemilu secara prinsipil.maka dimanakah posisi organisasi gerakan rakyat diantara berbagai posisi-posisi tersebut

Mari sejenak kita masuk dalam kajian literatur klasik yang mengutip bahwa kaum Marxis tidak menolak partisipasi di dalam pemilu borjuasi. Oleh karenanya penolakan secara prinsipil untuk turut serta dalam parlemen borjuasi adalah sikap kekanak-kanakan. Seruan dari elemen-elemen Anarkis atau ultra-kiri lainnya untuk memboikot pemilu dengan alasan kalau pemilu ini adalah pemilu borjuasi, dan menuntut diselenggarakannya apa yang mereka sebut “pemilu rakyat”, adalah kenaifan kalau bukan kebodohan. Di bawah sistem dengan relasi-relasi produksi kapitalis, setiap pemilu oleh karenanya adalah pemilu borjuasi. Parlemen borjuis dibentuk dan dirancang sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis, dan tidak bisa untuk keperluan lain. Ini adalah ABC Marxisme dalam permasalahan teori Negara borjuis, tetapi setelah ABC ada lagi huruf-huruf lain, ada lagi berbagai kombinasi huruf yang membentuk kata-kata, dan kombinasi kata-kata yang membentuk kalimat, dan seterusnya. Hanya mampu mengulang-ulang ABC tidaklah terdengar terlalu pintar.

Pemilu dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia

Sejak kemerdekaan Indonesia, tidak pernah ada pemilu rakyat. Semua pemilu sejak 1955 adalah pemilu borjuasi. Namun tidak semuanya sama, karena ada tingkat kebebasan demokrasi yang berbeda di dalam pemilu-pemilu tersebut yang ditentukan oleh perimbangan kekuatan-kekuatan kelas yang ada. Pemilu 1955 dan pemilu 1999, yakni pemilu yang relatif paling bebas dan “merakyat” dalam sejarah Indonesia, dalam takaran apapun bukanlah pemilu rakyat dan tetap adalah pemilu borjuasi. Namun akan menjadi kebodohan yang tertinggi kalau kita memboikotnya secara prinsipil. Lenin telah menjelaskan ini dengan sangat baik ketika dia mencoba meyakinkan kaum Komunis Jerman untuk tidak menyangkal parlemen borjuasi:

“Parlementerisme sudah tentu, telah ‘usang secara politik’ bagi kaum Komunis di Jerman; tetapi – dan inilah persoalan yang sesungguhnya – kita tidak boleh menganggap apa yang sudah usang bagi kita sebagai sudah usang bagi kelas, sudah usang bagi massa … Kita tidak boleh merosot ke tingkat massa, ke tingkat lapisan-lapisan kelas yang masih terbelakang. Ini tidak dapat disangkal. Kita wajib mengatakan kepada mereka kebenaran yang pahit. Kita wajib menamakan prasangka-prasangka borjuis-demokratis dan parlementer mereka sebagai prasangka-prasangka. Tetapi bersamaan dengan itu kita harus mengikuti dengan realistis keadaan yang sesungguhnya dari kesadaran kelas dan kesiapan seluruh kelas (dan bukan hanya pelopor Komunis saja), dan terutama seluruh rakyat pekerja (dan bukan hanya elemen-elemen kelas pekerja yang maju).” (Komunisme Sayap Kiri: Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan)

Bahkan dalam pemilu yang paling “merakyat” sekalipun, dengan kondisi-kondisi yang paling ideal sekalipun – misalnya dengan UU Pemilu yang amat bebas, dengan adanya sebuah partai massa buruh yang dapat ikut pemilu sebagai oposisi yang riil, dsb. – pemilu tersebut akan tetap menjadi pemilu borjuasi, dan kita tetap punya tanggung jawab untuk menjelaskan dengan sabar prasangka-prasangka borjuis-demokratis tersebut kepada rakyat. Jadi, sembari menggunakan taktik-taktik parlementer – ketika memungkinkan; kapan dan bagaimana ini memungkinkan adalah diskusi yang lain lagi yang akan kita coba kupas di bawah nanti – kaum Marxis tidak boleh menyembunyikan kebenaran dari massa bahwa parlemen borjuasi adalah alat untuk mempertahankan kapitalisme, dan bahwa tujuan akhir dari proletar adalah penaklukan kekuasaan secara revolusioner dengan menghancurkan parlemen borjuasi yang kita gunakan sekarang. Kaum Marxis menggunakan parlemen tidak hanya untuk membawa perubahan-perubahan yang dapat meringankan penderitaan rakyat. Kalau hanya untuk tujuan ini saja maka kita tidak bedanya dengan kaum liberal dan kaum reformis sosial-demokrat. Kita menggunakan parlemen juga sebagai platform untuk mengedepankan ide-ide sosialis dan terutama untuk menunjukkan kepada rakyat keterbatasan dan kebusukan parlemen borjuasi, dan dari sini menyiapkan kelas buruh untuk menumbangkan parlemen borjuasi ini.

Kalau kita tidak menolak secara prinsipil partisipasi dalam parlemen borjuis, lantas pertanyaan selanjutnya adalah: kapan kita menggunakan taktik parlementer dan kapan kita memboikotnya? Bagaimana dan dalam proporsi apa kita mengkombinasikan taktik ini dengan taktik-taktik lain? Tidak ada rumus ajaib yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak ada semacam angket dengan sederet pertanyaan ya-atau-tidak, yang setelah dijawab semuanya akan memberikan skor akhir yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Apa yang kita miliki adalah pengalaman sejarah dan kondisi-kondisi objektif serta subjektif hari ini yang dapat kita kaji dengan pisau analisa Marxisme.

(ASK)
Tinggalkan Komentar :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar