Raning Media3

Media buruh untuk rakyat

Sabtu, April 20, 2019

Euforia Kontradiksi Kelas Yang Semu, Serta Ancaman Perpecahan Kerukunan Sosial, Dalam Pemilu Borjuasi Di Indonesia Saat Ini

Bagaimana sesungguhnya situasi yang terjadi?

Diantara situasi krisis kapitalisme global saat ini,maka rangkaian proses peralihan kekuasaan secara demokratis melalui mekanisme Pemilihan Umum yang diselenggarakan diseluruh dunia menjadi sangat penting untuk tetap menjaga stabilitas modal yang dicirikan oleh berhasil atau tidaknya kekuasaan rezim pemodal menguasai stabilitas politik dimasing-masing regionalnya,karena sedikit saja terjadi kekisruhan politik maka akan sangat mempengaruhi bagi pergerakan modal disetiap pasar bursa saham dan hal tersebut tentu akan sangat merugikan bagi upaya pemulihan bangkitnya kembali sistem modal dari keterpurukan situasi krisisnya saat ini.

Satu hal yang sangat penting untuk terus kita cermati bersama adalah bahwa sesungguhnya demokrasi liberal hanya menghendaki pemenang-pemenang perebutan kekuasaan elektoral diseluruh dunia yang hanya tunduk dan patuh terhadap kepentingan liberalisme itu sendiri,yakni kelanggengan program-program pencabutan pemenuhan hak rakyat sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada rakyatnya diseluruh bagian kehidupan rakyat itu sendiri sebagai makhluk sosial (EkoPolSosBud).

Maka setelah rezim boneka terpilih hal berikutnya yang dilakukan oleh para pemilik modal adalah semakin meluaskan jangkauan wilayah rampasannya dengan memastikan agar potensi-potensi wilayah rampasannya tidak terganggu dengan pemastian berlakunya regulasi-regulasi (peraturan-peraturan) baru yang melindungi syahwat keserakahan ekspansi yang akan mereka lakukan,selanjutnya apabila ada kekuatan lain (kekuatan rakyat) yang dianggap mengganggu kepentingan ekpansi mereka,dapat dengan mudah dipatahkan atas nama peraturan-peraturan yang berlaku tersebut (kriminalisasi),karena hanya dengan cara itulah mereka dapat melangsungkan proses eksploitasi besar-besaran secara membabi buta dengan tujuan utamanya yaitu akumulasi sebanyak-banyaknya bagi individu-individu atau kelompok-kelompok pemilik modal (kaum kapital) tersebut.

Situasi Pemilu borjuasi (2019) di Indonesia

Di tengah euforia hiruk pikuk proses pemilu dan saling mengklaim kemenangan dimasing-masing kubu saat ini, mungkin akan ada sedikit kelegaan di antara para pemilih bahwa akhirnya kampanye pilpres ini berakhir. Betapa tidak, kegilaan dan keabsurditasan dari kampanye pilpres tahun ini telah mencapai tingkat yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Kedua kubu punya kendali atas sejumlah media, yang begitu gencar saling menyerang dalam berbagai level, secara terbuka maupun secara terselubung dengan dalih independensi media. Media sosial jadi ajang baku hantam antar pendukung. Kaum intelektual mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya untuk membuktikan pasangan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Akan tetapi, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: apa perspektif rejim ke depan, entah Jokowi ataupun Prabowo?

Keduanya menjanjikan penyelesaian terhadap masalah-masalah kemiskinan yang menimpa rakyat pekerja luas, dengan program-program yang katanya bernuansa “kerakyatan” dan “berdikari”. Inilah yang menjadi pondasi dukungan terhadap kedua calon ini karena tidak ada lagi politisi yang bisa menjual kapitalisme pasar bebas (Neo-Liberalisme) kepada rakyat. Elit politik harus meminjam hantu Soekarno dari periode revolusioner bangsa ini. Secara umum rakyat pekerja terpecah menjadi dua: yang satu percaya bahwa dibutuhkan orang yang “tegas” untuk menjalankan program-program kerakyatan, yang satu lagi percaya bahwa dibutuhkan orang yang “sederhana dan jujur”. Akan tetapi, kemiskinan dan kebobrokan sistem ini tidak akan pernah bisa diselesaikan oleh karakter-karakter pribadi dan gaya manajemen pemimpin ini atau itu. Terlepas dari karakter pribadi dan keinginan mereka, selama mereka masih bergerak di dalam kerangka kapitalisme maka mereka harus bekerja di bawah logika kapitalisme, yakni penumpukan kekayaan di satu kutub dan penumpukan kesengsaraan di kutub yang lainnya.

Kenyataan inilah yang akan mendikte perspektif ke depan bagi rejim yang berkuasa, entah itu Prabowo ataupun Jokowi. Mereka tidak akan punya ruang yang banyak untuk melakukan manuver ekonomi. Kenyataan krisis kapitalisme hari ini, yakni krisis yang paling akut di dalam sejarah, akan memaksa mereka melakukan program-program penghematan, privatisasi yang semakin luas dan mendalam, pemotongan subsidi, penekanan upah buruh, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, rejim yang akan datang akan menjadi rejim krisis. Ilusi terhadap rejim ini akan segera terbongkar dengan cepat dan kita juga tidak boleh lupa kalau perspektif rejim ke depan tidak hanya ditentukan oleh presiden yang terpilih, tetapi juga hasil pemilihan legislatif yang akan melahirkan parlemen yang lemah dan pastinya tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Dari suguhan sandiwara politik  yang sedang kita saksikan bersama saat ini seakan sedang dipertontonkan skenario tentang seorang calon presiden dari kubu 01 yakni Jokowi yang katanya berasal dari kelas rakyat rendahan yang sangat dekat dengan rakyat dan sangat memahami sekali apa yang menjadi keluhan dan keinginan rakyat sesungguhnya,padahal dibalik itu semua sejatinya sang calon presiden kubu 01 tersebut sedang bersungguh-sungguh meyakini para cukongnya bahwa ia akan tetap setia sepanjang masa melindungi pundi-pundi akumulasi para kartel rezim pendukungnya baik dibidang industri manufaktur, infrastruktur, properti, pangan, migas, tambang dan lainnya, yang dianggap oleh calon presiden dari kubu 02 adalah sebagai penjajah dan antek asing yang menindas rakyat Indonesia dan perampok sumber daya alam Indonesia.Sebagaimana kita ketahui pula secara bersama bahwa calon presiden dari kubu 02 tersebut berasal dari kelas priyayi atau suatu kelas intelektual dan teknokrat (borjuasi) yang sedang memainkan peran sebagai pelindung dan martir bagi perjuangan rakyat tertindas di Indonesia dalam merebut kembali hak-haknya yang telah dirampas dan dirampok oleh calon presiden petahana (jokowi) bersama dengan konco-konconya.

Apakah benar kenyataan sesungguhnya adalah seperti itu? tentu jawabannya adalah "kebohongan besar",bahkan apabila kita telaah kembali paparan dari situasi sesungguhnya diatas jelas sekali dapat kita saksikan bahwa seluruh bualan janji-janji politik dalam kampanye-kampanye mereka disetiap kesempatan adalah seumpama gincu murahan yang sering digunakan oleh para pelacur-pelacur tua sebagai pemanis kepada pelanggannya dipinggiran rel maupun kawasan kumuh,ya karena mereka adalah sesungguhnya para pelacur-pelacur "politik" tersebut yang sedang menjajakan dirinya dan seluruh kekayaan alam Indonesia bahkan sumber daya manusia Indonesia kepada tuan-tuan modalnya masing-masing.Artinya bahwa salah satu calon presiden benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat banyak yang tertindas dan sedang berupaya penuh untuk terus melangsungkan proses kontradiksi kelas adalah merupakan suatu ilusi lama yang telah usang dan sama sekali tidak perlu kita yakini secuil pun kebenarannya.
Lalu apakah meruncingnya potensi perpecahan kerukunan sosial rakyat Indonesia saat ini sedang diarahkan kepada proses Revolusi yang menurut Bung Karno belum usai itu,bukan,peristiwa yang sedang berlangsung adalah sebuah proses yang kontradiktif terhadap pra syarat Revolusi itu sendiri.Maka sudah sepatutnyalah jangan sampai kita yang merupakan bagian dari rakyat tertindas sesungguhnya secara taqlid buta berniat sungguh-sungguh untuk menjadi pendukung utama dari masing-masing kubu calon presiden tersebut karena keniscayaannya kita hanya akan terjebak kembali kedalam proses pertarungan kelas yang semu dan menjijikkan.

Setelah berduyun-duyun bergerak ke bilik suara, kaum buruh maupun rakyat tertindas lainnya akan mulai membalikkan langkah mereka ke jalan-jalan lagi. Selama masalah upah dan kesejahteraan buruh tidak terselesaikan, dan ini tidak akan bisa diselesaikan oleh rejim Prabowo ataupun Jokowi terutama pada periode krisis kapitalis dunia hari ini, maka kaum buruh akan kembali ke dasar perjuangan kelasnya kembali.Tetapi kali ini kaum buruh telah belajar banyak, dari pengalaman beberapa waktu terakhir dan dari proses pemilu saat ini, niscaya perjuangan kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya akan lebih tinggi tingkatannya daripada sebelumnya.

Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Pemilu borjuasi  (2019) yang saat ini diklaim oleh rezim jokowi sebagai pemilu langsung yang fantastis karena kepesertaaan pemilihnya yang mencapai kurang lebih 80% dan keikut sertaan pemilih pemula yang sering mereka sebut sebagai kaum millenial sebanyak kurang lebih 40% dari total jumlah pemilih keseluruhan itu adalah sebuah upaya memperoleh legitimasi dari rakyat Indonesia bahwa pemilu borjuasi yang diselenggarakan merupakan cerminan dari kedewasaan politik rakyat Indonesia,lagi-lagi dapat kita katakan merupakan apa yang sering disebut sebagai proses pembodohan publik,mengapa demikian? Karena keikut sertaan rakyat Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu yang diselenggarakan hanya didasari dari sebuah penggiringan opini bahwa seakan-akan negara telah memberikan pelayanan terbaiknya bagi kemajuan peradaban rakyatnya melalui hal yang sering mereka gembar-gemborkan bahwa ruang demokrasi sudah semakin terbuka luas dan apa yang menjadi kehendak rakyat banyak dapat diarahkan melalui saluran-saluran demokrasi yang telah tersedia,salah satunya adalah pemilu,namun apa yang sesungguhnya menjadi kehendak rakyat tersebut tidak berdasarkan dari serapan aspirasi demokrasi rakyat sejati tetapi aspirasi yang dititipkan dalam mekanisme keterwakilan secara formal semata,itulah hakikat dari demorasi liberal.
Melihat situasi faktual yang sedang terjadi, berkaitan dengan hiruk-pikuk kampanye Pilpres, media massa telah menjadi alat produksi mental yang sangat vital. Media massa akan menjadi jembatan vital di dalam proses integrasi antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik.

Dan pada kenyataannya, para kapitalis besar sudah mulai melirik industri mental ini, atau setidaknya, mereka sudah mulai menanamkan modalnya di industri pengolah ‘kesadaran palsu’ ini.Fungsi media massa, bagi kapitalis tidak hanya berfungsi sebagai pabrikasi ‘kesadaran palsu’ yang akan mengikat para konsumen untuk setia mengkonsumsi produk-produk tertentu, tetapi juga pabrikasi ‘kesadaran palsu’ untuk mengikat masyarakat pada ide-ide dan opini-opini tertentu. Pada hal yang terakhir inilah kapitalis menggunakan media massa untuk mempertahankan kekuasaan politik mereka.Keterlibatan stasiun-stasiun TV besar dalam kampanye Pilpres,tentu tidak atas nama ibadah atau sebagai kerja sukarela. Selain untuk kepentingan jangka panjang dalam proses akumulasi kapital, juga untuk kepentingan memperoleh kekuasaan politik, yakni untuk  membawa para pemilik stasiun TV tersebut dan kroninya ini masuk ke dalam arena kekuasaan.                                                                       
Media massa di dalam masyarakat kapitalis adalah ‘alat produksi’ ilusi bagi kelas yang berkuasa. Media massa adalah pabrik pengolah ide-ide milik kelas yang berkuasa. Perspektif ini sejalan dengan apa yang pernah ditulis oleh seorang filsuf besar di dalam kitab klasik berjudul Ideologi Jerman, bahwa kelas yang memiliki alat produksi material, pada saat yang sama, memiliki kontrol atas alat-alat produksi mental.

Stasiun-stasiun TV besar jelas digunakan sebagai alat produksi mental yang dikendalikan oleh dua kelompok borjuasi besar Indonesia saat ini, pada Pilpres kali ini berfungsi sebagai pabrik pengolah ‘kesadaran palsu’—atau ilusi-ilusi. ‘Kesadaran palsu’ yang diproduksinya mampu membentuk histeria politik dan cara pandang yang sangat ekstrem. Prabowo, misalnya, oleh pendukungnya telah dianggap sebagai  seorang “nabi” yang akan menyelamatkan segala macam persoalan bangsa. Hal yang sama juga terjadi pada Jokowi, yang telah dianggap sebagai calon penyelamat rakyat kecil dari keterpurukan,tetapi lebih dari sekedar itu, bahwa masyarakat telah ditipu dengan terang-terangan oleh kontestasi antara Prabowo dan Jokowi. Dua perwakilan dari kelas borjuis ini tidak hanya telah berhasil menyuntikkan ‘kesadaran palsu’ ke dalam pikiran masyarakat luas, tetapi juga ke dalam pikiran sebagian besar rakyat pekerja maupun rakyat secara umum.Peran media massa sudah sangat jelas memiliki peran yang sangat dominan terhadap munculnya potensi-potensi perpecahan kerukunan sosial yang terjadi sekarang,sebab media massa maupun sosial media itu sendiri telah menyebar luaskan situasi emosional publik secara massal dan vulgar atas pijakan perannya sebagai pelaku industri informasi dan komunikasi.

Tetaplah dalam konsistensi kita bersama untuk selalu berpikir secara kritis dan ilmiah dan bergerak bersama secara kolektif,dalam kesadaran penuh massa aksi yang teratur,terdidik dan terpimpin untuk terus berdialektika dalam proses mewujudkan demokrasi rakyat yang sejati,sehingga apapun hal-hal yang akan menjadi potensi atas terinterupsinya kembali kemenangan  dan kemerdekaan 100% rakyat Indonesia dapat secara bersama-sama kita telaah dan analisa segala konsekuensinya sejak dini,kemudian mampu untuk kita lewati dengan meminimalisir akibatnya bagi bangunan wadah perjuangan yang sedang kita bidani proses kelahirannya di masa jaya berjuang ini.
"Hidup rakyat Indonesia yang melawan…!!!"
(ASK)

Tinggalkan Komentar :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar